Permintaan Terakhir

Riska namanya, pelajar berusia 17 tahun yang baru duduk di bangku 11 SMA. Untuk umur seusianya, seharusnya Riska bisa tertawa, bercanda seperti anak anak lainnya. Namun, inilah kenyataan yang harus Riska hadapi. Riska selalu beranggapan bahwa hidupnya ini begitu sial, penuh dengan penderitaan. Mulai dari permasalahan rumah tangga Ayah dan Ibu Riska, masalah kakaknya, Risky, dan masalahnya sendiri.

Ayah dan Ibunya, bercerai beberapa bulan yang lalu tepat pada ulang tahunnya ke-17. Kini Riska hanya tinggal bersama Ibunya dan Risky. Entah di mana keberadaan Ayahnya sekarang. Kakaknya, Risky, terjerumus pada obat-obatan terlarang. Ibu Riska sama sekali tidak tahu soal hal ini. Riska diminta Risky untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun. Lagipula, bila Riska bilang ke Ibunya, pasti Ibunya akan semakin tertekan. Riska bingung apa yang harus ia lakukan untuk membuat kakaknya itu sadar. Riska begitu menyayangi Risky seperti Risky menyayanginya. Sudah banyak hal yang Riska lakukan untuk menyadarkannya, bahwa hal yang ia lakukan salah. Namun tetap saja ia tidak bisa berhenti dari kecenderungannya itu.

Tidak tahu kenapa, akhir–akhir ini Riska sering merasa mual dan muntah–muntah. Awalnya Riska hanya menganggap itu adalah hal biasa, namun Riska semakin takut. Bahkan sempat terlintas pikiran bodoh dari temannya yang menduga bahwa Riska hamil. Selain gejala itu, Riska juga sering susah tidur, dan merasa pusing, bahkan sesak nafas. Badannya juga sering lemas dan lesu.

Saat Riska mencoba mengecek keadaannya ke dokter, dokter itu bertanya kepada Riska “Apakah ada gejala lain yang parah selain gejala–gejala tersebut?”, dan Riska pun menjawab “Ada sih, dok”, dengan ragu Riska menjawab pertanyaan dokter itu.

“Apa itu Ris?”, tanya dokter itu.

Anu dok.. anu..”, Riska pun masih takut untuk menjawabnya.

“Sudahlah, tidak apa. Katakan saja Ris!”, kata dokter itu.

“Hmm, akhir–akhir ini aku sering membuang air seni bercampur dengan darah”, jawab Riska.

“Wah, sepertinya kau mengidap penyakit yang parah. Sebaiknya kita cek”, kata dokter.

Dokter itu kemudian mengecek keadaan Riska dengan menggunakan alat dan keluar dengan membawa kabar yang buruk.

“Riska, sesungguhnya saya berat untuk mengatakan ini. Apa tidak lebih baik dibicarakan bersama keluargamu saja?”, tanya dokter itu.

“Memangnya saya kenapa dok?”, tanya Riska dengan raut wajah cemas.

“Begini, kamu sesungguhnya mengidap penyakit gagal ginjal!”, kata dokter dengan raut wajah tegang.

“Apa doookk??”, sahut Riska dengan kaget dan cemas karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan dokter itu.

“Iya Ris, kamu yang sabar ya. Inilah kenyataannya, ini sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa”, ucap dokter itu sambil menenangkan Riska.

Riska pun tak kuasa menghadapi kenyataan ini. Lengkap sudah penderitaannya selama ini. Riska semakin beranggapan bahwa hidupnya ini begitu sial. Riska hanya bisa berdoa dan pasrah. Riska tahu, sangat sulit bagi penderita gagal ginjal untuk bisa bertahan hidup. Ditambah dengan keadaan ekonomi keluarganya yang tergolong sulit, semenjak Ayah dan Ibunya bercerai. Kata dokter, Riska harus cuci darah setiap seminggu dua hingga tiga kali. Untuk setiap cuci darah saja membutuhkan biaya ratusan ribu. Rasanya Riska tidak ingin membebankan Ibu dan kakaknya. Biarkan ini menjadi sebuah rahasia kecilnya.

Ketika Riska pulang ke rumah, Riska melihat Risky sedang memaksa Ibu untuk memberikannya uang. Tentu saja Riska tau, untuk apa uang itu akan dipergunakan. Segera saja Riska berteriak pada kakaknya itu.

“Kak Risky!! Apa–apaan ini? Mengapa kakak menarik–narik Ibu seperti itu?”, teriak Riska dengan penuh emosi.

“Halaaah.. anak kecil itu diam saja ya!”, balas Risky.

“Tapi gak gini kak caranya. Kasihan Ibu tahu!”, nasehat Riska pada kakaknya.

Gak usah ngurusin orang lain deh, dek!”, Risky pun mendorong Riska hingga jatuh pingsan.

Dek.. dek, maafin kakak ya! Bangun dong dek”, seru Risky sambil memegang pundak Riska.

“Ki, lekas bawa adekmu ke kamar!”, perintah Ibu dengan panik.

“Baik, Bu”, sahut Risky.

Ketika Riska tersadar, hanya ada Risky di sampingnya. Riska pun meneteskan air mata.

“Jangan menangis, dek! Kakak akan selalu ada di sini untuk nemenin kamu”, ucap Risky sambil mengusap air mata Riska.

“Kak, aku ingin bicara satu hal sama kakak”, kata Riska sambil terisak.

“Iya, katakan saja tak apa”, jawab Risky dengan senyuman.

“Mulai sekarang, kakak harus bisa berubah. Kakak harus bisa lepas dari obat–obatan itu”, pinta Riska.

“Kalau itu aku gak bisa dek! Sudahlah, lupakan saja. Kamu itu gak ngerti gimana masalahnya”, jawab Risky dengan marah. Seketika itu ia pun langsung meninggalkan kamar Riska dan pergi entah kemana. Dan Riska pun hanya bisa terdiam mendengar ucapan Risky.

Sudah berhari–hari Risky tidak pulang. Hingga suatu ketika tubuh Riska terasa lemah, dan Riska pun tergeletak tak sadarkan diri. Ibu pun segera mengantarkan Riska ke Rumah Sakit Pertamina. Ibu pun cemas sekali melihat keadaan Riska, ditambah Risky yang tak kunjung pulang berhari–hari. Ibu sangat kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Karena Riska memang merahasiakan hal ini dari siapa pun.

Tiba – tiba dokter masuk ruangan dan berbicara pada ibu.

“Dok.. bagaimana keadaan anak saya?”, tanya ibu dengan penuh kepanikan.

“Bu, anak Ibu ini sudah mengidap penyakit gagal ginjal sejak lama”, jawab dokter itu.

“Aaapaa? Itu tidak mungkin dok, anak saya selama ini tidak pernah mengeluh punya penyakit apa pun”, seru ibu meyakinkan dokter.

“Mungkin dia tidak ingin mengatakan hal ini kepada siapa pun. Tapi inilah kenyataannya, anak Ibu menderita gagal ginjal akut. Mohon maaf Bu sebelumnya, mungkin umur anak Ibu tidak akan lama lagi. Karena ia tidak pernah mencuci darah selama ini, kecuali dilakukan transplantasi ginjal atau dialisis”, kata dokter.

“Apa tidak ada cara lain dok?”, tanya ibu pada dokter.

“Tidak ada selain itu, kecuali mukjizat dari Tuhan, Bu. Cara itu pun belum tentu bisa menyelamatkan nyawa anak Ibu. Karena, penyakit yang diderita anak Ibu ini sudah stadium III”, kata dokter itu.

“Ya Allah, mengapa hidup hamba-Mu ini begitu banyak cobaannya?”, ucap Ibu sambil menitihkan air mata.

“Sabar Bu.. sabar..”, kata dokter itu sambil menenangkan Ibu.

Ibu pun duduk kembali pada kursi di samping Riska sambil menangis. Riska pun tak kunjung sadar dari komanya ini. Sudah seminggu Riska koma di rumah sakit. Risky pun tak kunjung pulang ke rumah. Hingga Ibu mencari keberadaannya pada teman-temannya. Sampai suatu ketika Ibu melihat Risky di sebuah rumah kosong dekat sekolah Riska. Ibu pun terkejut karena melihat Risky sedang menghisap sabu-sabu.

"Riskyy! Apa yang kamu lakukan?", dengan marah, ibu memanggil Risky.

"Iiibuu..", dengan penuh ketakutan Risky menjawab.

"Ibu tidak percaya dengan apa yang kamu lakukan selama ini. Kenapa kamu tidak pernah bilang Ky? Apa kau tau, adikmu Riska sedang koma di rumah sakit. Ia mencarimu Ky. Dia sangat mencemaskan keadaanmu”, kata Ibu dengan penuh kemarahan.

"Apa? Riss.. Ris..ka koma?", kata Risky dengan penuh ketakutan.

Seketika itu Risky langsung pergi ke rumah sakit dan melihat keadaan Riska yang terbaring koma. Risky pun menitihkan air matanya dan merasa bersalah.

"Dek.. bangun dek.. Ini kakak. Ini kak Risky. Maafin kakak ya, karena kakak kamu jadi gini. Kakak nyesel banget sekarang", kata kak Risky sambil memegang tangan Riska.

Tiba – tiba Riska tersadar dan dapat membuka matanya. Riska pun berbicara kepada Risky meskipun harus terbatah–batah.

“Kaak..”, kata Riska dengan suara lemah.

“Ya dek, syukurlah kamu sudah sadar”, sahut Risky.

“Kenapa kakak gak pernah pulang? Ibu sangat sedih kak..”, kata Riska dengan tetesan air mata.

“Maafin kakak dek, kakak janji gak akan ngelakuin hal itu lagi demi kamu”, jawab Risky dengan raut wajah menyesal.

“Ya kak, dan satu hal lagi.. sebelum adek pergi, kakak harus janji tidak akan memakai obat–obatan itu lagi ya?”, pinta Riska pada Risky.

Dek, kamu gak boleh ngomong kaya gitu. Kamu harus tetap kuat. Masih ada kakak di sini”, kata Risky dengan raut muka marah.

“Tapi aku sudah gak kuat lagi kak, jadi adek mohon banget sama kakak untuk berhenti dari hal itu”, imbuh Riska.

“Iya dek, kakak janji akan lakuin apa aja demi kamu. Tapi kamu harus kuat. Kamu pasti bisa sembuh”, kata Risky menyemangati Riska.

“Makasih ya Kak, dan jaga Ibu baik–baik jangan buat Ibu susah ya Kak. Sudah cukup penderitaan yang keluarga kita hadapin”, kata Riska dengan terengah – engah.

“Iya dek, kakak janji kok”, ucap Risky.

Tak lama kemudian, tubuh Riska kejang sesaat dan berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin. Dengan kuat Riska memegang tangan Risky yang sedari tadi memegang tangan Riska. Hingga akhirnya Riska menghembuskan nafas terakhirnya tepat di samping orang yang sangat ia sayangi. Dengan rasa penyesalan yang begitu dalam, Risky pun berteriak menyebut nama Riska, adiknya. Ia merasa begitu sedih karena tidak bisa memenuhi keinginan adiknya sebelum Riska pergi. Mulai sekarang, Ia berjanji akan berubah. Ia akan berhenti menggunakan obat – obatan terlarang demi Riska. Ia pun berdoa agar Riska diterima di sisi-Nya.

Seketika setelah Risky berteriak, Ibu pun masuk ruangan Riska dengan menangis tesedu-sedu. Rasanya Ibu tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Namun, Ibu sudah merelakan Riska untuk selama-lamanya. Dan Ibu yakin bahwa inilah yang terbaik untuk Riska.

0 komentar:

Posting Komentar

comments ya (: thx